Saya adalah Mahasiswi Universitas Pamulang Fakultas Ilmu Komunikasi yang tertarik pada isu komunikasi digital, etika media, dan budaya populer.

Mengapa Kita Butuh Etika Komunikasi Publik?

Selasa, 1 Juli 2025 14:45 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Nusa Pers Ajak Pemuda Wujudkan Pemilu Tanpa Hoax di Pemilu 2024
Iklan

Hoaks pemilu memicu perpecahan. Artikel ini membahas pentingnya etika komunikasi publik untuk berbicara jujur dan mencegah polarisasi.

Oleh: Septi Fauziah

Pemilu seharusnya menjadi pesta demokrasi, tempat rakyat merayakan perbedaan pilihan dengan dewasa. Namun di Indonesia, setiap musim pemilu sering diwarnai oleh hoaks yang menyesatkan dan polarisasi politik yang memecah masyarakat. Kita masih ingat bagaimana istilah cebong dan kampret tumbuh subur, menjadi identitas baru yang saling menuduh dan membenci. Hoaks pemilu bukan hanya soal kebohongan, tapi juga senjata untuk menciptakan jurang permusuhan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Etika Komunikasi Publik Penting di Tengah Hoaks

Di tengah banjir informasi, etika komunikasi publik menjadi pagar yang menuntun kita untuk tidak sembarangan berkata. Etika bukan hanya teori, melainkan panduan moral: apa yang boleh dan tidak boleh kita sampaikan. Dalam konteks pemilu, penyebaran informasi yang keliru bukan sekadar kesalahan teknis, tapi kejahatan yang merusak kepercayaan publik. Etika komunikasi publik menuntut kejujuran, tanggung jawab, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap kata.

Dampak Hoaks pada Kepercayaan Publik

Hoaks pemilu memukul telak kepercayaan publik pada sistem demokrasi. Ketika kebohongan tersebar lebih cepat daripada klarifikasi, masyarakat terbelah oleh narasi palsu. Saudara bisa saling curiga, teman jadi lawan debat panas, bahkan kekerasan fisik bisa muncul. Dampak sosial dari komunikasi publik yang tidak etis bukan hanya perpecahan, tapi juga hilangnya rasa saling percaya yang menjadi fondasi bangsa.

Polarisasi Politik

Polarisasi politik membuat publik terbagi dalam kubu-kubu yang saling menolak untuk mendengar. Di sinilah etika komunikasi diuji: bisakah kita menyampaikan pendapat tanpa menistakan lawan? Bisakah kita berbeda tanpa saling menghina? Tantangan komunikasi publik di Indonesia bukan hanya tentang data, tetapi juga tentang empati. Etika membantu kita menahan diri untuk tidak menyulut emosi massa hanya demi sensasi atau kemenangan politik jangka pendek.

Peran Komunikator Publik dalam Menangkal Hoaks

Setiap juru bicara partai, pejabat, influencer, hingga warganet punya peran sebagai komunikator publik. Tanggung jawab sosial melekat pada siapa saja yang menyebarkan pesan ke khalayak luas. Komunikator publik yang etis akan memeriksa fakta sebelum berbicara, memahami audiensnya, dan memilih kata-kata yang membangun, bukan memecah. Dalam musim kampanye, etika harus lebih dijunjung: kampanye boleh sengit, tapi bukan berarti bebas menebar kebohong

Membangun Budaya Komunikasi Publik yang Etis

Membasmi hoaks dan mengurangi polarisasi tidak cukup lewat regulasi. Kita perlu membangun budaya komunikasi yang etis. Artinya, masyarakat harus kritis terhadap informasi, berani bertanya: benar atau salah? Kita juga perlu mendukung media yang berintegritas, bukan hanya yang sensasional. Pendidikan literasi digital jadi kunci untuk generasi muda agar tidak mudah termakan hoaks.

 

Penutup: Suara Kita, Tanggung Jawab Kita

Setiap kata yang kita bagikan punya konsekuensi. Etika normatif dalam komunikasi publik bukan aturan kaku, tapi kesadaran bersama untuk menjaga ruang publik yang sehat. Jika kita ingin pemilu yang damai, demokrasi yang matang, dan masyarakat yang rukun, kita harus memulai dari cara kita berkomunikasi. Mari berhenti menyebar hoaks, menolak ujaran kebencian, dan memilih kata-kata yang jujur, akurat, dan menghargai perbedaan. Suara kita adalah tanggung jawab kita.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Septi Fauziah

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler